Kamis, 19 Mei 2011

FUNGSI AL-AQL DAN AL-QALB MENURUT ALQURAN

Pendahuluan
Manusia sebagai pelaku dan sasaran pendidikan memiliki alat yang dapat digunakan untuk mencapai kebaikan dan keburukan. Alat yang dapat digunakan untuk mencapai kebaikan adalah qalb, ruh dan aqal. Sedangkan alat yang dapat digunakan untuk mencapai keburukan adalah hawa nafsu syahwat yang berpusat di perut dan hawa nafsu amarah yang berpusat di dada. Dalam konteks ini, pendi­dikan harus berupaya mengarahkan manusia agar memiliki keteram­pilan untuk dapat mempergunakan alat yang dapat membawa kepada kebaikan, yaitu aqal dan qalb dan menjauhkan dari mempergunakan alat yang dapat membawa kepada keburukan, yaitu hawa nafsu.
Kajian terhadap aqal dan qalb ini menjadi penting artinya, mengingat dampak yang ditimbulkan dari kedua potensi tersebut bagi kehidupan manusia amat besar. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada bagian ini akan diuraikan mengenai aqal dan qalb dalam berbagai aspeknya, serta hubungannya dengan kegiatan pendidikan. Rujukan utamanya adalah ayat-ayat Alquran yang berkenaan dengan aqal dan qalb. Ayat-ayat tersebut akan dianalisa dengan pendapat para ahli tafsir, para filosof, ahli ilmu jiwa serta ahli pendidikan. Dalam makalah ini akan menjelaskan dua dimensi manusia yaitu aqal dan qalb.
1.      DimensiAl-‘Aql
Dimensi
aqal adalah dimensi psikis yang berada antara nafsu dan qalb. Aqal menjadi perantara dan penghubung antar kedua dimensi tersebut berupa fungsi pikiran yang merupakan kualitas insaniyah pada psikis manusia. Aqal merupakan bagian dari daya insani yang memilki dua makna. Aqal jasmani, yang lazim disebut sebagai otak dan aqal ruhani yaitu cahaya ruhani dan daya nafsani yang dipersiapkan untuk memperoleh pengetahuan. Aqal mampu mengantarkan manusia pada esensi kemanusiaan. Aqal merupakan kesehatan fitrah yang memilki daya pembeda antara yang baik dan buruk. Term ini dapat dipahami bahwa aqal adalah daya pikir manusia untuk memperoleh pengetahuan yang bersifat rasional dan dapat menentukan hakikatnya.                                         
2.      DimensiAl-Qalbqalb merupakan salah satu daya nafsani. Al-Ghazali secara tegas melihat qalb dari dua aspek yaitu qalb jasmani adalah komponen fisik dan qalb ruhani adalah komponen psikis yang menjadi pusat kepribadian. Qalb ruhani memilki karakteristik yaitu, insting yang disebut nur ilahi dan mata batin yang memancarkan keimanan dan keyakinan. Qalb berfungsi sebagai pemandu, pengontrol, dan pengendali semua tingkah laku manusia. qalb mamiliki natur ilahiyah yang merupakan aspek supra kesadaran. Dengan natur ini manusia tidak sekedar mengenal lingkungan fisik dan sosial, juga mampu mengenal lingkungan spiritual, ketuhanan, dan keagamaan. Aspek ini juga mencakup daya insani misalnya daya indrawi (penglihatan dan pendengaran), daya psikologis seperti kognisi, emosi (intuisi yang kuat dan afektif), konasi (beraksi, berbuat, berusaha).

Pembahasan

A. Al-'Aql.

Secara etimologis, al-'aql berarti menahan, dan ism failnya (al-'aqil) berarti orang yang menahan diri dan mengekang hawa nafsu. Al-'aql juga berarti kebijaksanaan (al-nuha) lawan dari lemah pikiran (al-humq). Di samping itu, al-'aql juga diartikan sebagai qalb, dan kata kerjanya, 'aqala bermakna memahami.[1]
Kata al-'aql dalam bentuk kata benda, tidak ditemukan dalam Alquran. Namun dalam bentuk kata kerja, dalam arti perintah penggunaan 'aql, terulang sebanyak 49 kali, yaitu: Kata ' al-’aqlahu disebut sekali dalam QS. al-Baqarah/2:75. Kata ta'qilun disebut sebanyak 24 kali, dan biasanya diikuti dengan harapan (raja’). Lokus pemuatannya yaitu, al-Baqarah/2:44,7,76,242; Ali Imran/3: 65,118; al-An'am/6:32,151; al-A'raf/7:169; Yunus/10:16; Hud/11:51; Yusuf/ 12:2,109; al­-Anbiya’/21:10,57; al-Mu'minun/23:80; al-Nur/24:61; al-Syu'ara’/26:28; al-­Qashash/28:60; Yasin/36:62, al-Shaffat/37:138, Ghafir/40:67; al-Zukhruf/431:33; dan al-Hadid/57:17. Kata na’qilu disebut satu kali dalam Surat al-Mulk/67: 10. Kata ya'qiluha disebut sekali dalam QS. al-Ankabut/29:43. Kata ya’qilun disebut sebanyak 22 kali, dengan rincian: 10 kali dalam bentuk positif (ya’qilun) dan 12 kali dalam bentuk negatif (la ya’qilun). Lokus pemuatannya yaitu; surat al-Baqarah/2:164,170,171; al-Maidah/5:58,103; al‑Anfal/8:22, Yunus/10:42,100; al-Ra'd/13:4; al-Nahl/16:12,67; al-Hajj/22:46; al‑Zumar/39:43; al-Jatsiyat/45:5; al-Hujurat/49:4 dan al-Hasyr/59:14.[2]
Dalam perspektif Alquran, al-aql bukanlah otak, tapi daya pikir dan memahami yang terdapat dalam diri manusia, daya yang digambarkan memperoleh ilmu pengetahuan dan memperhatikan alam sekitarnya (al-A'raf/7:179; al-­Taubah/9:93). Dalam berbagai konteks, Alquran telah menyerukan penggunaan al-'aql dan memuji orang yang menggunakannya serta mencela yang tidak menggunakannya. Sementara kalau kita lihat term al-‘aql ditemukan dalam kitab Shāhih-Bukhāri dan Shāhih Muslim sebanyak 17 kali. [3]
Hubungannya dengan kemampuan memahami, maka antara aql dan qalb memiliki perbedaan makna yang siqnifikan. Kata aql lebih focus pada rasional empiris/konkret yang menggunakan kekuatan pikir dalam memahami sesuatu, sementara al-qālb lebih cendrung pada rasional emosional yang menggunakan kekuatan zikir dalam memahami realitas spiritual. Keduanya merupakan daya rūhani manusia untuk memahami kebenaran. Dan bila keduanya menyatu dalam sebuah pemahaman untuk mencari kebenaran dengan menggunakan fasilitas masing-masing, maka akan diperoleh sebuah kekuatan pikir dan zikir. Artinya dalam pikir ada zikir, dan dalam zikir ada pikir
Begitu pentingnya daya ini bagi manusia, Alquran memberikan penghargaan yang tinggi terhadapnya, bahkan tidak ada penghargaan kitab suci lain yang lebih tinggi terhadap aqal, melebihi penghargaan Alquran.
Al-'aql merupakan daya pikir dalam diri manusia, yang dengannya segala sesuatu dapat diserap. Ia adalah anugerah Allah swt. yang tidak dimiliki makhluk lain. Dengannya, manusia dapat membedakan yang benar dan yang baik, yang bersih dan yang kotor, bermanfaat dan mudarat, serta baik dan buruk.[4]
Abbas Mahmud al-'Aqqad, berpendapat bahwa al-'aql adalah penahan hawa nafsu, untuk mengetahui amanat dan beban kewajiban, pemahaman dan pemikiran yang selalu berubah sesuai dengan masalah yang dihadapi, yang membedakan antara hidayah dan kesesatan, atau kesadaran batin yang berdaya tembus melebihi penglihatan mata.[5]
Kata aqal yang sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab al-'aql  yang dalam bentuk kata benda, tidak terdapat dalam Alquran,  yang ada yaitu kata kerjanya aqaluhu, taqilun, na'qi'l, ya'qiluha, dan lainnya. Kata-kata itu dipakai dalam arti paham dan mengerti.[6] Sebagai contoh dapat dijumpai pada ayat­-ayat (Q.S. al-Bagarah, 2:75 dan 242; al-Hajj, 22:46; al-Mulk, 57:10, dan al-Ankabut, 29:43).
Selain itu di dalam Alquran terkadang kata aqal diidentikkan dengan kata lub jamaknya al-albab. Sehingga kata ulu al-bab dapat diartikan dengan ''orang-orang yang beraqal''. Hal ini misalnya dapat dijumpai pada ayat yang berbunyi:

žcÎ) Îû È,ù=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur É#»n=ÏF÷z$#ur È@øŠ©9$# Í$pk¨]9$#ur ;M»tƒUy Í<'rT[{ É=»t6ø9F{$# ÇÊÒÉÈ tûïÏ%©!$# tbrãä.õtƒ ©!$# $VJ»uŠÏ% #YŠqãèè%ur 4n?tãur öNÎgÎ/qãZã_ tbr㍤6xÿtGtƒur Îû È,ù=yz ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur $uZ­/u $tB |Mø)n=yz #x»yd WxÏÜ»t/ y7oY»ysö6ß $oYÉ)sù z>#xtã Í$¨Z9$# ÇÊÒÊÈ
190.  Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
191.  (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.

Pada ayat tersebut terlihat bahwa orang yang beraqal (Ulu al-Bab) adalah orang yang melakukan dua hal yaitu tazakkur yakni mengingat (Allah), dan tafakkur, memikirkan (ciptaan Allah). Sementara Imam Abi al-Fida Isma'il, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Ulu al­-Abab adalah orang-orang yang aqalnya sempurna dan bersih yang dengannya dapat ditemukan berbagai keistimewaan dan keagungan mengenai sesuatu, tidak seperti orang yang gagu yang tidak dapat berpikir.[7] Dengan berpikir seseorang sampai kepada hikmah yang berada di balik proses meingingat (tazakkur) dan berpikir (tafakkur), yaitu mengetahui, memahami dan menghayati bahwa di balik fenomena alam dan segala sesuatu yang ada di dalamnya menunjukkan adanya Sang Pencipta.
Selanjutnya melalui pemahaman yang dilakukan para mufassir terhadap ayat tersebut di atas akan dapat dijumpai peran dan fungsi aqal secara lebih lugas. Objek-objek yang dipikirkan  aqal dalam ayat tersebut adalah al-khalq yang berarti batasan dan ketentuan yang menunjukkan adanya keteraturan dan ketelitian; al-samawat yaitu segala sesuatu yang ada di langit dan terlihat dengan mata kepala; al-ardl yaitu tempat di mana kehidupan berlangsung di atasnya; ikhtilaf at-lail wa al-nahar artinya pergantian siang dan secara beraturan; al-ayat artinya dalil-dalil yang menunjukkan adanya Allah dan kekuasaan-Nya.[8] Semua itu menjadi obyek atau sasaran dimana aqal memikirkan dan mengingatnya. Tegasnya bahwa di dalam penciptaan langit dan bumi serta keindahan ketentuan dan keistimewaan penciptanya, serta adanya pergantian siang dan malam , waktu detik per-detik sepanjang tahun, yang pengaruhnya di perubahan fisik dan kecerdasan yang disebabkan pengaruh panasnya matahari dan dinginnya malam, Serta pengaruhnya pada binatang dan tumbuh-tumbuhan dan sebagainya adalah menunjukkan bukti ke-Esaan Allah dan kesempurnaan ilmu dan kekuasaan-Nya.[9]
Kajian terhadap peran dan fungsi aqal sebagaimana dikemukakan pada ayat tersebut dalam perjalanan sejarahnya mengalami pasang su­rut. Pada masa Rasulullah saw. hingga awal kekuasaan Bani Umayah peng­gunaan aqal demikian besar, melalui apa yang dalam ilmu fikih disebut ijtihad.[10] Hasil ijtihad ini muncul dalam bentuk ilmu-ilmu agama seperti Tafsir, Hadis, Fikih, Ilmu Tata Bahasa, Qira'at dan sebagainya.[11]
Penggunaan aqal pikiran mengalami peningkatan yang luar bi­asa pada masa kekuasaan Bani Abbas (khususnya zaman al-Makmun). Pada masa ini terjadi kontak umat Islam dengan pemikiran Yunani yang dijumpai pada beberapa wilayah yang sudah dikuasai Islam.[12] Pada zaman inilah muncul para filosof Muslim seperti alKindi, al‑Farabi, Ibn Sina, al-Rani, Ibn Rusyd, Ibn Baja, Ibn Tufail dan sebagainya. Berbagai ilmu agama Islam seperti Fikih, Ilmu Kalam, Filsafat dan sebagainya yang muncul pada periode ini dipengaruhi oleh pandangan yang memberikan apresiasi dan penghargaan terhadap aqal sebagai­mana tersebut di atas.
Bersamaan dengan itu kajian terhadap istilah aqal yang dijumpai di dalam Alquran semakin ditingkatkan. Dalam Lisan al-Arab misal­nya dijelaskan bahwa al-'aql berarti al-bijr yang menahan dan menge­kang hawa nafsu. Seterusnya diterangkan pula bahwa al-'aql mengan­dung arti kebijaksanaan (al-nuha), lawan dari lemah pikiran (al-humq). Selanjutnya disebutkan pula bahwa al-'aql juga mengandung arti qalb (al-qalb)." Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa kata aqala me­ngandung arti memahami. Demikian pula dalam kamus-kamus Arab, dapat dijumpai kata aqala yang berarti mengikat dan menahan.[13]
Berbagai pengertian tentang aqal sebagaimana tersebut di atas terjadi karena pengaruh dari pemikiran filsafat Yunani, yang banyak menggunakan aqal pikiran. Seluruh pengertian aqal tersebut adalah menunjukkan adanya potensi yang dimiliki oleh aqal itu sendiri, yaitu selain berfungsi sebagai alat untuk mengingat, memahami, menger­ti, juga menahan, mengikat dan mengendalikan hawa nafsu. Melalui proses memahami dan mengerti secara mendalam terhadap segala ciptaan Allah sebagaimana dikemukakan pada ayat tersebut di atas, manusia selain akan menemukan berbagai temuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, juga akan membawa dirinya dekat dengan Allah. Dan melalui proses menahan, mengikat dan mengen­dalikan hawa nafsunya membawa manusia selalu berada di jalan yang benar, jauh dari kesesatan dan kebinasaan.
Dalam pemahaman Izutzu, sebagaimana dikutip Harun Nasution, bahwa kata 'aql di zaman jahiliyah dipakai dalam arti kecer­dasan praktis (practical intellegence) yang dalam istilah psikologi modern disebut kecakapan memecahkan masalah (problem solving capacity). Orang beraqal menurut pendapatnya adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah, setiap kali ia dihadapkan dengan problema dan selanjutnya dapat melepaskan diri dari bahaya yang ia hadapi. Kebijaksanaan praktis serupa ini dihargai oleh orang Arab zaman jahiliah.[14] Orang yang beraqal akan memiliki kesanggupan untuk mengelola dirinya dengan baik, agar selalu terpelihara dari mengikut hawa nafsu, berbuat sesuatu yang dapat memberikan kemudahan bagi orang lain dan seka­ligus orang yang tajam perasaan batinnya untuk merasakan sesuatu di balik masalah yang dipikirkannya. Dalam kaitan inilah, maka di dalam Alquran, sebagaimana dijelaskan pada ayat 22 surat al-Hajj ayat 46, bahwa pengertian, pemahaman dan pemikiran dilakukan melalui qalb yang berpusat di dada, sebagaimana ayat berikut:
óOn=sùr& (#r玍šo Îû ÇÚöF{$# tbqä3tGsù öNçlm; Ò>qè=è% tbqè=É)÷ètƒ !$pkÍ5 ÷rr& ×b#sŒ#uä tbqãèyJó¡o $pkÍ5 ( $pk¨XÎ*sù Ÿw yJ÷ès? ㍻|Áö/F{$# `Å3»s9ur yJ÷ès? Ü>qè=à)ø9$# ÓÉL©9$# Îû ÍrߐÁ9$# ÇÍÏÈ
46.  Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.

Dengan kata lain ketika aqal melakukan fungsinya sebagai alat untuk memahami apa yang tersirat di balik yang tersurat, dan dari padanya ia menemukan rahasia kekuasaan Tuhan, lalu ia tunduk dan patuh kepada Allah, maka pada saat itulah aqal dinamai pula al-qa1b. Aqal dalam pengertian yang demikian itu dapat dijumpai pada pemakaiannya di dalam surat al-Kahfi ayat 18.
öNåkâ:|¡øtrBur $Wß$s)÷ƒr& öNèdur ׊qè%â 4 öNßgç6Ïk=s)çRur |N#sŒ ÈûüÏJuø9$# |N#sŒur ÉA$yJÏe±9$# ( Oßgç6ù=x.ur ÔÝÅ¡»t/ ÏmøŠtã#uÏŒ ϊϹuqø9$$Î/ 4 Èqs9 |M÷èn=©Û$# öNÍköŽn=tã |Mø©9uqs9 óOßg÷YÏB #Y#tÏù |Mø¤Î=ßJs9ur öNåk÷]ÏB $Y6ôãâ ÇÊÑÈ
18.  Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur; dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi oleh ketakutan terhadap mereka.


Aqal dalam pengertian yang demikian itulah yang kini disebut dengan istilah kecerdasan emosional, yaitu suatu kemampuan me­ngelola diri agar dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Hal ini dida­sarkan pada pertimbangan, bahwa keberhasilan seseorang di masyara­kat, ternyata tidak semata-mata ditentukan oleh prestasi akademisnya di sekolah, melainkan juga oleh kemampuannya mengelola diri.

Pemahaman terhadap potensi berpikir yang dimiliki aqal seba­gaimana tersebut di atas memiliki hubungan yang amat erat dengan pendidikan. Hubungan tersebut antara lain terlihat dalam merumuskan tujuan pendidikan. Bloom, membagi tujuan-tujuan pendidikan dalam tiga ranah (domain), yaitu ranah kognitif, afektif dan psikomo­torik. Tiap-tiap ranah dapat dibagi lagi dalam tujuan-tujuan yang lebih spesifik yang hierarkis. Ranah kognitif dan afektif tersebut sangat erat kaitannya dengan fungsi kerja dari aqal. Dalam ranah kognitif terkan­dung fungsi mengetahui, memahami, menerapkan, menganalisis, men­sintesis dan mengevaluasi.[15] Fungsi-fungsi ini erat kaitannya dengan fungsi aqal pada aspek berpikir (tafakkur). Sedangkan dalam ranah afektif terkandung fungsi memperhatikan, merespon, menghargai, mengorganisasi nilai, dan mengkarakterisasi.19 Fungsi-fungsi ini erat kaitannya dengan fungsi aqal pada aspek mengingat (tazakkur).

B. Al-qalb.
Secara bahasa, al-qalb berasal dari akar kata yang artinya membelokkan sesuatu ke arah lain, sebagaimana dalam QS. al-Ankabut/29:21. Al-qalb yang ada pada manusia sering berbolak balik, terkadang senang, terkadang sedih, suatu saat setuju dan pada saat lain menolak. Kata ini juga dipakai untuk menunjuk kepada kemampuan khusus dalam diri manusia, seperti rūh  (al-Ahzab/33:10), ilmu pengetahuan (Qaf/50:37), keberanian (al-Anfal/8: 10) dan lain‑lain. Sedangkan kata qulub dalam QS. al-Hajj/22:46, bisa bermakna al-'aql dan bisa juga bermakna al-rūh .[16]
Alquran cukup banyak menggunakan kata  al-qālb, baik dalam bentuk tunggal, maupun jamak. Kata  al-qālb dalam bentuk tunggal disebutkan sebanyak 19 kali, dan bentuk jamaknya disebutkan sebanyak 112 kali. Dengan demikian, secara keseluruhan berjumlah 131 kali.[17]
Secara bahasa, kata ini terambil dari akar kata yang membelokkan sesuatu ke arah lain. Qalb manusia dinamakan demikian karena ia sering berbolak balik, kadang senang, kadang sedih, suatu saat setuju dan pada saat lain menolak.sebagaiman QS. Ar-Ra’ad/ 13 : 28 berbunyi:
الذين آمنوا وتطمئن قلوبهم بذكر الله ألا بذكر الله تطمئن القلوب
Artinya:
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram”.
 Al-qālb juga dipergunakan untuk menunjuk kepada potensi-potensi khusus dalam diri manusia, seperti rūh (al-Ahzab/33:10), ilmu pengetahuan (Qaf/50:37), keberanian (al-Anfal/8: 10) dan lain‑lain. Sedangkan kata qulub dalam QS. al-Hajj/22:46, bisa bermakna al-'aql dan bisa juga bermakna al-rūh.[18]
 Al-qālb amat berpotensi untuk tidak konsisten, kadang cenderung kepada kebaikan dan kadang cenderung kepada keburukan. Alquran sendiri menggambarkan inkonsistensi  al-qālb dalam beberapa ayat, antara lain: QS. Qaf/50 : 37, Hadid/57:27, Ali Imran/3:151 dan al-hujurat/49:7. Dari ayat-ayat tersebut terlihat bahwa  al-qālb merupakan wadah bagi pengajaran, kasih sayang, takut dan keamanan. Dengan demikian,  al-qālb memang menampung hal-hal yang disadari pemiliknya. Ini berbeda dengan nafs yang menampung sesuatu yang disadari dan yang dibawah sadar, bahkan yang sudah tidak diingat lagi (QS. Thaha/20:7). Ini diperkuat oleh QS. al-Baqarah/2 : 225 yang menjelaskan bahwa yang dituntut untuk dipertanggungjawabkan adalah isi  al-qālb bukan nafs.
Dalam ayat lain, al-qalb dipahami sebagai "alat" (QS. al-A'raf/7:179). Al-qalb dilukiskan dengan fuād. Alquran juga menjelaskan bahwa Allah dapat "mendinding" manusia dangan qalb-nya:
يا أيها الذين آمنوا استجيبوا لله وللرسول إذا دعاكم لما يحييكم واعلموا أن الله يحول بين المرء وقلبه وأنه إليه تحشرون. [19]
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya lah kamu akan dikumpulkan.[20]

Ayat ini bermakna bahwa Allah menguasai qalb manusia, sehingga mereka yang merasakan kegundahan dan kesulitan dapat bermohon kepada-Nya agar menghilangkan kerisauan dan penyakit hatinya, sebagaimana ayat berikut:
الذين آمنوا وتطمئن قلوبهم بذكر الله ألا بذكر الله تطمئن القلوب[21].
Artinya: (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.

Rasulullah saw. Menegaskan bahwa di dalam diri setiap manusia terdapat satu alat yang menentukan arah aktivitas manusia, yang disebut dengan al-qalb, sebagaimana berikut:
... وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ. [22]
Artinya: Dalam setiap tubuh manusia terdapat sepotong daging yang jika ia sehat maka seluruh tubuhnya juga sehat. Tetapi jika ia rusak, maka seluruh tubuhnya terganggu, ketahuilah bahwa organ tubuh itu adalah qalb.

Ma'an Ziyadat dalam Daudi, menegaskan bahwa qalb berfungsi sebagai alat untuk menangkap hal-hal yang doktriner (al-i'tiqadiyah), memperoleh hidayah, ketakwaan dan rahmah serta memikirkan sesuatu.[23]  Fungsi qalb bukan sekedar merasakan sesuatu, melainkan juga berfungsi untuk menangkap pengetahuan yang bersifat supra rasional. Fungsi qalb dalam Alquran yaitu: Fungsi emosi yang menimbulkan daya rasa, fungsi kognisi menimbulkan daya cipta, fungsi konasi menimbulkan daya karsa. Dari sudut kondisinya,[24] qalb memiliki kondisi: Baik, yaitu qalb yang hidup, sehat dan mendapatkan kebahagiaan. Buruk, yaitu qalb yang mati dan mendapatkan kesengsaraan. Qalb antara baik dan buruk, yaitu qalb yang hidup tetapi berpenyakit.

























Penutup

            Al-'aql dalam pandangan Alquran secara kognitif berfungsi untuk mengetahui, memahami, menerapkan, menganalisis, men­sintesis dan mengevaluasi, penekananannya pada asfek berpikir (tafakkur). Secara afektif berfungsi memperhatikan, merespon, menghargai, mengorganisasi nilai dan mengkarakterisasi, penekanannya pada aspek mengingat (tazakkur). Al-'aql merupakan kesehatan fitrah yang memilki daya pembeda antara yang baik dan buruk. Term ini dapat dipahami bahwa aqal adalah daya pikir manusia untuk memperoleh pengetahuan yang bersifat rasional dan dapat menentukan hakikatnya, didalam pendidikan Al-'aql merupakan suatu hal yang bersifat pada intelektual yang pencapaiaannya pada kemampuan berfikir dan mampu menjawab segala pertanyaan yang tertulis maupun yang lisan yang disebut sebagai kognitif (kecakapan, kepandaiaan).
            Al-'qalb dalam pandangan Alquran berfungsi sebagai alat untuk menangkap hal-hal yang doktriner (al-i'tiqadiyah), memperoleh hidayah, ketakwaan. Qalb berfungsi dari asfek emosi menimbulkan daya rasa, dari asfek kognisi menimbulkan daya cipta, dari asfek konasi menimbulkan daya karsa. Imam Al-Ghazali secara tegas melihat qalb dari dua aspek yaitu qalb jasmani adalah komponen fisik dan qalb ruhani adalah komponen psikis yang menjadi pusat kepribadian. Qalb berfungsi sebagai pemandu, pengontrol, dan pengendali semua tingkah laku manusia, hal ini dengan jelasnya didalam pendidikan bersifat unsur sikap dan pengaplikasian seluruh nilai-nilai pendidikian dan pengetahuan yang disebut afektif dan psikomotorik. Jadi hubungannya antara al-'aql dan al-'qalb sangat erat kaitannya didalam sistim pendidikan dimana disamping pengetahuan (kognitif) sebagai daya fikir haruslah seiring dengan sikap (afektif) dan perbuatan (psikomotorik), perpaduan inilah akan melahirkan sifat-sifat ilahiyah yang menjadikan manusia sebagai makhluk yang Tafakkur (berfikir) dan Tazakkur (berzikir) terhadap khaliknya.  


DAFTAR PUSTAKA

Abd. al-Baqi’,Muhammad Fuad. Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz Alquran al-Karim,Beirut: Dar al-Fikri, 1981.

Aqqad, Abbas Mahmud. Al-Insan fi al-Our’an al-Karim. Kairo: Dar al-Islam, 1973.

             Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam. Studi tentang Elemen Psikologi
dari Alquran, cet. II, Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2007


Bukhari, Abu Abdullah bin Muhammad Ismail. Shahih al-Bukhari, Juz 1. Saudi Arabia: Idaratul Buhuts Ilmiah wa Ifta' wa ad-Dakwah wa al-Irsyad, t.t.

Damasyqi, Abi al-Fida Ismail ibn Katsir al-Qurasyi. Tafsir Ibnu Katsir, Jilid I. Makkah al-Mukarramah: Al-Maktabah al-Tijariyah, 1986.

Daudi, Ahmad. Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1989.

Goleman, Daniel. Kecerdasan Emosional. Bandung: Prima, 2001.

Ibrahim, Muhammad Ismail. Mu’jam al-Alfaz wa al-‘Alam al-Qur’aniyyat. Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1968.

Khallaf, Abd A-Wahab. Ilmu Ushul al­Fiqh. Mesir: Dar al-Ma'arif, 1987.

Khalil, Munawwar. Salafiyah. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

Madkur, Ibrahim. al-Mu’jam al-Falsafi. Kairo: al-Haiat al-Ammar Li al-Syu’un al-Mathba' al-Amiriyat,1979.

Maraghi, Ahmad Musthafa. Tafsir al-Maragy, Jilid II. Mesir: Dar al-Fikr, tp. th.
Mujib Abdul dan Mudjakkir, Yusuf. Nuansa-Nuansa Psikologi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Nasution, Harun. Aqal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI Press, 1986.

Nasution, S. Asas-Asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara, 1994

Shaliba, Jamil. al-Mu’jam al-Falsafi. Beirut: Dar al-Kitab al-­Lubnany, 1979.


















FUNGSI AL-AQL DAN AL-QALB MENURUT ALQURAN
Diajukan untuk memenuhi Tugas Perbaikan
Pada Mata Kuliah Tafsir

Oleh; Zulfitri
NIM 3072059

Program Doktor
PENDIDIKAN ISLAM


Dosen Pembimbing: Prof. Dr. H. RIF’AT SYAUQI NAWAWI, M.A.
Prof. Dr. BAHARUDDIN HASIBUAN, M.Ag.








PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
MEDAN
2008


[1]Muhammad Ismail Ibrahim, Mu’jam al-Alfaz wa al-‘Alam al-Qur’aniyyat (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1968), h. 351.
[2] Al-Baqi, Al-Mu’jam., h. 594-595.
[3] Pada kitab Shāhih al-Bukhāri, hadis nomor 154 bab azan, hadis nomor 36 bab tahadjud, hadis nomor 6 dan 18 bab ilmu, hadis nomor 36 bab mazhalim, hadis nomor 12 bab syahadat, hadis nomor 6 bab haid, hadis nomor 293, 795, 1113, 1369, 3656 dan hadis nomor 5943. Pada kitab  Shāhih Muslim hadis nomor 89 bab janaiz, hadis nomor 19, 114 dan  2464 Lihat, A.J. Wensinck, Et, Mensing, al-Mu‘jam al-Mufahras li alfaz  al-Hadis  al-Nabawi (Leiden : Ej Brill, 1962), h. 698-701
[4]Ibrahim Madkur, al-Mu’jam al-Falsafi (Kairo: al-Haiat al-Ammar Li al-Syu’un al-Mathba' al-Amiriyat,1979), h. 120. Lihat juga Jamil Shaliba, al-Mu’jam al-Falsafi (Beirut: Dar al-Kitab al-­Lubnany, 1979), Juz II, h. 84-91.
[5]Abbas Mahmud al-'Aqqad, al-Insan fi al-Our’an al-Karim (Kairo: Dar al-Islam, 1973), h. 22.
[6]Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: UI Press, 1986), cet. II, h. 5.
[7]Abi al-Fida Ismail ibn Katsir al-Qurasyi al-damasyqi, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid I (Makkah al-Mukarramah: Al-Maktabah al-Tijariyah, 1986), h. 493.
[8]Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maragy, Jilid II (Mesir: Dar al-Fikr, tp. th.), h. 160.
[9]Ibid.,h. 162.
[10]Secara harfiah ijtihad artinya berusaha keras memfungsikan akal. Sedangkan dalam pengertian yang dikemukakan para ahli Ushul Fiqh, ijtihad adalah mengerahkan segenap daya dan kesanggupan baik fisik, akal pikiran dan hati nurani untuk melahir­kan keputusan hukum dengan berpedoman pada Alquran dan Sunnah dengan menggunakan metode berpikir tertentu. Lihat Abd A-Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al­Fiqh (Mesir: Dar al-Ma'arif, 1987), cet. 1, h. 23.
[11]Ilmu-ilmu yang muncul pada masa Rasulullah hingga awal Bani Umayyah adalah ilmu-ilmu agama murni, yaitu belum terkena pengaruh filsafat Yunani. Ilmu­-ilmu agama yang demikian itu dikategorikan sebagai pemikiran salafiyah. Lihat Munawwar Khalil, Salafiyah (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), cet. I, h. 145.
[12]Menjelang kedatangan Islam, sebagian wilayah di Timur Tengah sudah dikuasai oleh Alexander The Great yang merupakan murid dari Filo­sof Yunani, Sokrates. Dan ketika pusat-pusat kebudayaan dan filsafat Yunani yang berada di Athena dihancurkan oleh raja zalim yang berkuasa saat itu, banyak para filosof yang exodus ke Timur Tengah. Dengan demikian telah muncul pusat-pusat kebudayaan dan filsafat Yunani di Alexandria, Antiochia, Bactra, Nissisibi, dan sebagainya. Karya-karya para filosof Yunani yang ada di daerah tersebut kemudian di­terjemahkan ke dalam bahasa Arab di zaman kekuasaan Al-Makmun. Ia mendirikan Baitul Hikmah dan menyewa penerjemah Hunain bin Ishak untuk menerjemahkan karya-karya filsafat tersebut dari bahasa Latin ke bahasa Ibrani, dan dari bahasa Ibrani ke dalam bahasa Arab. Terjemahan dalam bahasa Arab inilah yang kemudian dijumpai para ulama Islam.
[13]Nasution, Akal dan Wahyu, h. 6.
[14]Ibid., h. 7.
[15]Nasution, Asas-asas Kurikulum (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), cet. I, h. 50.  
[16] Kata qalb juga bermakna hati dalam arti fisik. Lihat M. Ismail Ibrahim, Mu’jam, h. 433.
[17]Al-Baqi, Al-Mu’jam., h. 697-700.
[18] Kata  al-qālb juga bermakna hati dalam arti fisik. Lihat M. Ismail Ibrahim, Mu’jam,h.433

[19]QS. Al-Nahl:16/78.
[20]QS. Al­-Anfal:8/24.
[21]QS. Al-Ra'ad:13/28.
[22]Abu Abdullah bin Muhammad Ismail al- Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz 1 (Saudi Arabia : Idaratul Buhuts Ilmiah wa Ifta' wa ad-Dakwah wa al-Irsyad, t.t), h…
[23]Ahmad Daudi, Kuliah Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), h. 41.
[24]Abdul Mujib dan Yusuf Mudjakkir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 52.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar